source photo |
Pengertian Sosiologi
Sosiologi berasal dari bahasa latin
“socius” yang berarti kawan, dan “logos” yang berarti pikiran atau ilmu
pengetahuan. Jadi sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang pergaulan
hidup manusia, yaitu hubungan antara seorang dengan seseorang, hubungan
perorangan denga golongan, dan golongan dengan golongan.
Ruang Lingkup
Sejak kita lahir di dunia, bahwa kita
sudah melakukan hubungan antara sesame manusia. Semakin meningkat usianya maka
bertambah pula pergaulannya dengan manusia dalam masyarakat. Keikutsertaannya
di dalam hubungan social, dalam membentuk kebudayaan masyarakatnya dan
kesadarannya maka aka nada sebuah persamaan dan perbedaan dengan sesame, dan
semuanya itu memberikan gambaran tentang sosiologi itu sendiri.
Pengertian
Masyarakat
Masyarakat adalah sekelompok manusia
yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama sehingga mereka iu dapat
mengorganisasikan dirinya untuk berfikir tentang dirinya dalam satu kesatuan
social dengan batasan-batasan tertentu.
Syarat-syarat sebagai masyarakat
1. Harus
ada pengumpulan manusia dan harus banyak.
2.
Telah bertempat tinggal dalam waktu yang
lama.
3. Adanya
aturan-aturan yang mengatur didalamnya.
Oleh karena itu sosiologi dalam masyarakat sangat
diperlukan sekali dalam kita berinteraksi social, kita harus mampu untuk
menyesuaikan keadaan dimanapun kita berada. Perbedaan-perbedaan yang timbul
disuatu masyarakat memang sangat beragam, maka dibutuhkan pemahaman khusus agar
proses perdamaian dapat terlaksana dengan baik dan benar.
Masyarakat
Desa Dalam Tinjauan Sosial Budaya
Pengertian desa menurut kamus Poerwadarminta (1976) adalah:
“sekelompok
rumah di luar kota yang merupakan kesatuan, kampung (di luar kota); dusun;… 2
dusun atau udik (dalam arti daerah pedalaman sebagai lawan dari kota);….”.
Desa menurut kamus tersebut terutama dalam arti fisik. Lain lagi dengan istilah
desa dalam rembug desa, yang berarti fisik, masyarakat dan pemerintahannya.
Istilah lain yang memiliki pengertian hampir sama adalah village. Menurut The Random
House Dictionary (1968), village
adalah:
“a small community or group of house in a
rural area usually smaller than a town
and sometimes incorporated as a municipality”
Definisi tersebut mengandung makna bahwa yang dimaksud dengan masyarakat
kecil adalah masyarakat di daerah masyarakat pedesaan. Masyarakat kecil disebut juga rural community yang
diartikan sebagai masyarakat yang anggota-anggotanya hidup bersama di suatu
lokalitas tertentu, yang seorang merasa dirinya bagian dari kelompok, kehidupan
mereka meliputi urusan-urusan yang merupakan tanggungjawab bersama dan
masing-masing merasa terikat pada norma-norma tertentu yang mereka taati
bersama.
Masyarakat desa selalu memiliki ciri-ciri atau dalam hidup bermasyarakat,
yang biasanya tampak dalam perilaku keseharian mereka. Pada situasi dan kondisi
tertentu, sebagian karakteristik dapat digeneralisasikan pada kehidupan
masyarakat desa di Jawa.
Namun demikian, dengan adanya perubahan sosial religius dan perkembangan
era informasi dan teknologi, terkadang sebagian karakteristik tersebut sudah
“tidak berlaku”. Berikut ini disampaikan sejumlah karakteristik masyarakat
desa, yang terkait dengan etika dan budaya mereka, yang bersifat umum yang
selama ini masih sering ditemui. Setidaknya, ini menjadi salah satu wacana bagi
kita yang akan bersama-sama hidup di lingkungan pedesaan.
1. Sederhana
Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini
terjadi karena dua hal:
- Secara ekonomi memang tidak mampu
- Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
2. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:
- Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya
- Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
3. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”
Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-ungguh” apabila:
- Bertemu dengan tetangga
- Berhadapan dengan pejabat
- Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
- Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
- Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya
4. Guyub, kekeluargaan
Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana
kekeluargaan dan persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari
mereka.
5. Lugas
“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat
desa. Mereka tidak peduli apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang
lain karena memang mereka tidak berencana untuk menyakiti orang lain.
Kejujuran, itulah yang mereka miliki.
6. Tertutup dalam hal keuangan
Biasanya masyarakat
desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi kemampuan
ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya.
Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan
sulit mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.
7. Perasaan “minder” terhadap orang kota
Satu fenomena yang
ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak langsung
ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup
besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.
8. Menghargai (“ngajeni”) orang lain
Masyarakat desa
benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya sebagai
“patokan” untuk membalas budi
sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam wujud material tetapi juga
dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan “ngajeni”.
9. Jika diberi janji, akan selalu diingat
Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas
tertentu akan sangat diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan
mereka. Hal ini didasari oleh pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka
alami, khususnya terhadap janji-janji terkait dengan program pembangunan di
daerahnya.
Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka
dalam” yang begitu membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil:
mahasiswa menjanjikan pertemuan di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka
telah standby namun mahasiswa baru
datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman
itu.
10. Suka gotong-royong
Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan
Indonesia adalah gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal
dengan istilah “sambatan”. Uniknya,
tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-membahu meringankan beban tetangganya yang
sedang punya “gawe” atau hajatan.
Mereka tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu
orang lain. Prinsip mereka: “rugi sathak,
bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi tetapi mendapat keuntungan bertambah
saudara.
11. Demokratis
Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan
keputusan terhadap suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui
mekanisme musyawarah untuk mufakat. Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan
Desa) sangat penting dalam mengakomodasi pendapat/input dari warga.
12. Religius
Masyarakat pedesaan
dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat
menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri
ke dalam kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban,
Jumat Kliwonan, dll
1. Bersikap “andhap asor”
Sebagai “komunitas tamu” yang berasal dari luar
komunitas masyarakat desa seyogyanya kita mengambil posisi yang “merendah” atau
minimal “seimbang” sekalipun secara materi dan intelektualitas lebih tinggi
mereka.
2. Bersahabat
Sifat arogan harus dikikis habis, diganti dengan
perilaku yang bersahabat dan “sumedulur” (bersaudara). Sebagai
tamu sudah semestinya tidak bersikap arogan dan menunjukkan sifat dan perilaku
kekotaan.
3. Menghargai
Sebagai reaksi atas sikap kekeluargaan dari
masyarakat desa, sepantasnya kita juga menghargai mereka. Sikap menghargai ini
dapat diberikan dalam hal:
- Memahami pola pikir mereka yang berbeda kontra dengan pola pikir kita
- Menerima pemberian sesuatu sebagai bentuk “tresno” (kasih
sayang) mereka kepada kita.
- Memahami pola hidup mereka yang jauh berbeda dengan pola hidup kita
4. Sopan santun
Dalam rangka mengikuti adat/istiadat/kebiasaan
yang berlaku di desa maka sudah selayaknya kita menyesuaikan diri, diantaranya:
a. Dalam hal berpakaian, sebaiknya tidak
mengenakan pakaian “ala kota”.
b. Dalam gaya hidup, sebaiknya tidak
menunjukkan sikap yang menurut mereka “pamer materi”. Misalnya: ber-handphone ria ditengah-tengah mereka,
ber-walkman ria sambil berbicara
dengan mereka.
c. Dalam hal berbicara, sebaiknya tidak
menggunakan kata-kata/kalimat yang hanya bisa dipahami oleh kalangan mahasiswa.
Misalnya: bahasa Inggris/bahasa “ngilmiah”.
5. Terbuka
Sebagai reaksi positif atas keterbukaan yang
ditunjukkan oleh masyarakat desa maka seyogyanya kita juga menunjukkan sikap
terbuka kepada mereka, misalnya:
a.
Jika
tuan rumah sudah berbicara apa adanya tentang menu makanan sehari-hari maka
jika kita memang kurang suka sebaiknya “ngomong”. Contoh: Si A tidak
suka makan mie. Sebaiknya ngomong ke tuan rumah daripada nggerundhel.
b.
Jika
keluar dari rumah pondokan sebaiknya menjelaskan secara terbuka: mau kemana,
dengan siapa dan kapan pulang. Hal ini penting, karena biasanya mahasiswa sudah
dianggap sebagai anak sendiri.
6. Membantu tanpa pamrih
Mengacu pada karakteristik gotong-royong yang
dimiliki masyrakat desa, maka sudah semestinya kita menyesuaikan dan mengikuti
kebiasaan itu. Bekerja dan membantu masyarakat desa tanpa pamrih. Dengan senang
hati mengikuti setiap acara tradisional (misal: kenduri) yang diadakan
di desa. Sekalipun tetap memperhitungkan waktu kerja program COP.
7. Tepat waktu
Demi menjaga kepercayaan masyarakat desa, sebaiknya perlu
diperhatikan ketepatan waktu dalam setiap acara peretemuan yang melibatkan
orang banyak. Hal ini sangat penting agar masyarakat desa juga menaruh
kepercayaan kepada kita sehingga sosialisasi program dan keterlanjutan
pelaksanaannya dapat terjaga.
8. Silahturahmi
Sebagai “tamu asing” sudah menjadi kebiasaan yang
lumrah jika kita harus melakukan silaturahmi (= memperkenalkan diri) kepada
warga masyarakat desa agar didalam melakukan sosialisasi dan pelaksanaan
program tidak mengalami hambatan hanya dikarenakan belum kenal. Silaturahmi ini
dapat dilakukan secara formal maupun informal. Misal:
a. Ketika
melakukan sosialisasi ketemu warga desa, sebaiknya langsung memperkenalkan diri
(informal)
b. Perkenalan
diri secara formal di Balai Desa (formal)
9. “Srawung”
Selama menjalankan program COP sebaiknya kita
tetap menjaga hubungan baik dengan masyarakat desa sehari-hari. Jangan
sekali-kali kita mengucilkan diri dan seolah membentuk kelompok “eksklusif orang kota”.
10.
Gotong-royong
Partisipatif, ini kata kuncinya ! Dalam
menjalankan program kerja jangan sampai meninggalkan prinsip dasar, yaitu partisipasi masyarakat. Pada dasarnya
program dapat berjalan karena ada partisipasi, baik dari seluruh anggota
kelompok maupun masyarakat setempat. Memunculkan minat berpartisipasi tidaklah
mudah, karena itu dibutuhkan komitmen yang tinggi yang diawali dari diri
sendiri
11. Demokratis
Mencermati iklim demokrasi yang juga sudah
merambah di desa, hendaknya kita bersedia mengikuti proses yang berlangsung.
Karena itu, dalam merencanakan dan melaksanakan program kita harus melibatkan
BPD (Badan Perwakilan Desa). Ini juga berarti kita menghargai proses demokrasi
dalam sebuah “lembaga” yang namanya desa.
12. Religius
Menyikapi kenyataan ini, secara psikologis kita tidak perlu
khawatir atau bahkan takut karena justru akan menyulitkan kita untuk
bersosialisasi. Sikap menghargai, itulah
yang mesti kita kembangkan ! Kita mesti tahu diri disaat masyarakat desa sedang
menjalankan ibadah agamanya. Karena itu dalam menyusun suatu kegiatan,
pertimbangan faktor “lima waktu” sangat penting untuk diperhatikan.
Alternatif sistem pendekatan kepada masyarakat
desa dalam rangka pengembangan masyarakat
Kekeliruan pendekatan selama ini dan beberapa akibatnya:
1. Pendekatan kebijakan pemerintah
2. Pendekatan ekonomis
3. Pendekatan intimidatif
Pengembangan masyarakat secara partisipatif sebagai alternatif:
1. Pendekatan Partisipatif
2. Pendekatan Persuasif
3. Pendekatan Akomodatif
8 jenis partisipasi:
1. Pemikiran
2. Uang
3. Tenaga kerja
4. Konsumsi
5. Peralatan kerja
6. Perlindungan
7. Tempat tinggal
8. Suasana kekeluargaan
SOURCE : DIKTAT MAHAPATI UNISSULA
No comments:
Post a Comment